17 Alasan Reklamasi Teluk Jakarta Harus Dihentikan Permanen

JAKARTA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan kalau Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) membuat kebijakan keliru tentang reklamasi Teluk Jakarta. Ada belasan alasan yang dikemukaan oleh KIARA, salahsatunya soal ancaman bencana ekologis.

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, sejatinya, Ahok telah melakukan kebijakan keliru. Pasalnya, Jakarta tidak membutuhkan reklamasi, yang dibutuhkan itu merupakan perbaikan-perbaikan ekositem yang ada di Teluk Jakarta.

"Selain itu, reklamasi Jakarta tidak memiliki orientasi yang memakmurkan rakyat, tapi konglomerat belaka," ujarnya pada Sindonews, Rabu (20/4/2016).

Menurutnya, terdapat 17 alasan mengapa reklamasi Teluk Jakarta itu harus dihentikan permanen. Pertama, reklamasi itu sama dengan proyek orde baru. Sebab, kebijakan reklamasi dilakukan tanpa partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat, serta tanpa adanya perhatian pada nelayan dan lingkungan hidup.

Kedua, pembangunan yang berlebihan hanya memperparah bencana ekologis, seperti banjir rob di sepanjang teluk Jakarta. Ketiga, merusak lingkungan hidup yang ada di kawasan Teluk Jakarta.

Keempat, kebutuhan pasir laut yang besar untuk reklamasi merusak ekosistem laut yang diurugnya. Kelima, proyek reklamasi dapat menghancurkan Jakarta sebagai ibu kota negara yang menjadi kawasan strategis nasional. Keenam, reklamasi itu rekayasa lingkungan yang merusak lingkungan dan ekosistem alamiah di Teluk Jakarta.

"Pertumbuhan karang di Pulau Seribu pun akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sendimen. Ditambah lagi, ada perubahan arus yang semakin meningkat akan menghantam pulau-pulau kecil di Pulau Seribu," tuturnya. (Baca: Rizal Ramli Hentikan Sementara Proyek Reklamasi Teluk Jakarta)

Delapan, merusak tata air wilayah pesisir. Sebab, reklamasi menambah beban sungai Jakarta di saat musim hujan. Jika air sungai terhambat keluar, akan menyebabkan penumpukan debit air di Selatan.

Sembilan, kawasan hutan mangrove di Muara Angke yang sejatinya sebagai habitat alami yang di dalamnya terdapat binatang akan terancam akibat tanggul laut menambah tekanan pada hutan tersebut.

"Lalu, situs sejarah kota Jakarta sebagai kota bandar dengan pulau-pulau bersejarahnya disekitar Teluk Jakarta akan tergerus dan hilang. Pelabuhan Sunda Kelapa misalnya, akan terancam dengan keberadaan 17 pulau reklamasi yang direncanakan Pemprov DKI itu," terangnya.

Sebelas, reklamasi mengancam obyek vital nasional. Misalnya saja Pulau G yang merusak kabel pipa dan kabel gas bawah laut serta PLTU Muara Karang yang menjadi suplai listrik ibukota Jakarta. 

Selanjutnya, proyek reklamasi hanya diperuntukan bagi kalangan ekonomi atas saja karena harga properti yang akan dijual itu bisa mencapai miliaran rupiah.

Tiga belas, Pemprov DKI Jakarta seharusnya melakukan restorasi, bukan reklamasi yang akan menambah kerusakan dan pencemaran laut, baik selama proses pembangunannya maupun proses berjalannya pulau-pulau reklasi itu.

Empat belas, reklamasi 17 pulau akan mengganggu aktivitas kapal dari total 6.000-an kapal nelayan dan mengurangi keberadaan pangan, khususnya ikan yang ada di DKI Jakarta. 

Lima belas, perairan Teluk Jakarta pasca proyek reklamasi yang ditambah dengan Giant Sea Wall akan menjadi comberan raksasa yang menyebabkan kematian ikan dalam skala besar.

"Kemudian, reklamasi hanya akan menjadi perumahan dan pusat komersial. Tak ada capaian besar ataupun urgensi ekonomi. Padahal biaya sosial dan lingkungannya itu sangat tinggi," terangnya. 

"Terakhir, sebagai negara kelautan, reklamasi hanya akan melemahkan kekuatan utama negara Indonesia dengan menimbun laut menjadi daratan baru," tutupnya.


1 komentar:



Rein mengatakan...

Comment you spam!

Posting Komentar